PUJIAN ADALAH MAUT

Mengatakan pada anak “kamu pintar” ternyata bisa membuat mereka takut mencoba. Penelitian Carol Dweck dari Stanford University menunjukkan bahwa pujian yang berfokus pada bakat bawaan justru menumbuhkan fixed mindset, membuat anak menghindari tantangan karena takut gagal. Sebaliknya, pujian yang menekankan usaha dapat menumbuhkan growth mindset dan membuat anak berani mencoba hal baru meski risiko gagal besar. Fakta ini cukup mengguncang banyak orang tua, karena selama ini mereka mengira memuji kepintaran adalah motivasi terbaik.

Di kehidupan sehari-hari, kita sering melihat anak yang menyerah ketika pekerjaan rumah sulit atau saat kalah di permainan kecil. Bukan karena mereka malas, melainkan karena mereka belum belajar bahwa kegagalan adalah bagian dari proses. Orang tua yang memahami cara menumbuhkan growth mindset dapat membantu anak melihat kegagalan sebagai guru, bukan musuh.

1. Mengubah Cara Memberi Pujian

Pujian yang tepat mampu menggeser cara anak memandang kemampuan mereka. Anak yang selalu dipuji dengan kata “pintar” cenderung takut membuat kesalahan karena merasa citranya harus selalu sempurna. Sebaliknya, pujian pada usaha membuat mereka melihat proses belajar sebagai sesuatu yang berharga.

Contohnya, alih-alih berkata “Kamu hebat sekali bisa mengerjakan PR ini dengan cepat”, orang tua bisa berkata “Kamu bekerja keras sampai akhirnya bisa menyelesaikannya”. Anak akan memahami bahwa keberhasilan datang dari kerja keras, bukan sekadar bawaan lahir.

Pendekatan ini membuat anak lebih tahan menghadapi tantangan. Di logikafilsuf, sering dibahas bagaimana perubahan kecil dalam bahasa bisa membentuk cara berpikir yang berbeda pada anak dan membuat mereka lebih berani mengambil risiko intelektual.

2. Mengenalkan Konsep Belajar dari Kesalahan

Anak sering merasa gagal adalah akhir dari segalanya. Tugas orang tua adalah mengajarkan bahwa kesalahan adalah bahan bakar untuk belajar lebih baik.

Misalnya, ketika anak mendapatkan nilai buruk, alih-alih memarahinya, orang tua bisa duduk bersama dan membahas di mana letak kesalahannya. Proses ini membantu anak melihat kesalahan sebagai petunjuk, bukan sebagai vonis.

Kebiasaan ini menciptakan rasa aman psikologis sehingga anak tidak takut mencoba hal baru. Mereka tahu jika gagal, masih ada kesempatan memperbaiki.

3. Mendorong Anak Menghadapi Tantangan

Growth mindset hanya tumbuh jika anak dilatih menghadapi kesulitan, bukan dihindarkan darinya. Ketika anak merasa sebuah tugas terlalu sulit, orang tua bisa membantu memecahnya menjadi langkah kecil yang lebih mudah dihadapi.

Contoh sederhana adalah saat anak kesulitan belajar matematika. Daripada langsung memberi jawaban, ajak mereka mencari cara lain untuk menyelesaikan soal tersebut. Proses berpikir ini mengajarkan ketekunan.

Dengan terbiasa menghadapi tantangan, anak belajar bahwa rasa frustrasi adalah bagian normal dari proses belajar, bukan tanda bahwa mereka tidak mampu.

4. Mengajarkan Anak Menetapkan Tujuan yang Realistis

Anak yang sering gagal bisa kehilangan motivasi jika tujuannya terlalu tinggi atau tidak jelas. Mengajarkan cara membuat target kecil dan realistis akan membantu mereka merasakan kemajuan.

Misalnya, jika anak kesulitan membaca buku tebal, mulailah dengan menargetkan beberapa halaman per hari. Dengan begitu, mereka bisa melihat perkembangan yang nyata dan termotivasi untuk terus maju.

Kebiasaan ini menumbuhkan keyakinan bahwa mereka mampu mencapai sesuatu melalui usaha konsisten. Mereka belajar merayakan setiap langkah kecil sebagai kemenangan.

5. Menunjukkan Teladan dari Orang Tua

Anak belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari apa yang mereka lihat. Orang tua yang menunjukkan sikap pantang menyerah memberi contoh nyata bagaimana menghadapi kesulitan.

Saat orang tua gagal dalam sesuatu, bicarakan dengan anak bagaimana mereka akan mencoba lagi. Ini memberi pesan kuat bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan awal untuk mencoba lebih baik.

Teladan ini jauh lebih berpengaruh daripada nasihat panjang. Anak melihat langsung bagaimana orang tua menghadapi frustrasi dengan kepala dingin.

6. Mengajarkan Rasa Ingin Tahu dan Eksperimen

Growth mindset berkaitan erat dengan rasa ingin tahu. Anak perlu diajak mengeksplorasi hal-hal baru tanpa takut salah.

Ajak anak bereksperimen dengan cara sederhana, misalnya mencoba resep baru di dapur atau membuat proyek sains kecil di rumah. Dorong mereka untuk bertanya dan mencari tahu jawabannya sendiri.

Dengan terbiasa bereksperimen, anak belajar menikmati proses, bukan hanya fokus pada hasil akhir. Mereka menjadi lebih kreatif dan adaptif menghadapi perubahan.

7. Memberikan Lingkungan yang Mendukung

Lingkungan yang aman membuat anak berani mencoba hal baru. Jika setiap kesalahan selalu dihakimi, anak akan memilih bermain aman.

Ciptakan suasana di rumah yang memberi ruang untuk berdiskusi, mencoba, dan gagal tanpa rasa takut. Orang tua bisa memberikan waktu khusus untuk mendengar pendapat anak tanpa menginterupsi.

Lingkungan ini membuat anak merasa dihargai dan termotivasi untuk terus berusaha. Mereka belajar bahwa kegigihan lebih penting daripada kesempurnaan.

Membentuk growth mindset bukan pekerjaan semalam. Ia membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan teladan dari orang tua. Namun, hasilnya akan terasa seumur hidup. Menurut kamu, apakah anak zaman sekarang sudah dibekali mental tahan banting menghadapi tantangan? Tinggalkan pendapatmu di kolom komentar dan bagikan artikel ini agar semakin banyak orang tua yang paham pentingnya membentuk pola pikir berkembang sejak dini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LARIK WAKTU : LEBIH DARI SEKEDAR PUISI

TERJEBAK DALAM PERGEMULUTAN HIDUP?

KESADARAN CINTA AKSARA : MISTERI DI BALIK HALAMAN TERAKHIR