TITIK KOMA DI TENGAH BADAI GROUP LANGKAH
Mentari pagi menyentuh lembut tirai kamar Nefal. Di tangannya tergenggam ponsel, menampilkan percakapan grup komunitas penyakit langkah. Nefal menghela napas, membaca rentetan pesan yang terasa berat dan penuh emosi.
Awalnya, Gina, seorang anggota grup, bertanya mengapa grup terasa sepi. Jane membalas dengan kabar kurang mengenakkan tentang dirinya yang baru saja kambuh dan terjatuh. Kemudian, percakapan berlanjut pada keluhan Gina tentang dimarahi dan dipukul oleh ayahnya setelah terjatuh saat membereskan barang dan menjaga hewan peliharannya yaitu anjing serta kakek dan neneknya. Usia Gina sudah 35 tahun dan belum sembuh dari penyakit langkahnya. Sementara Nefal usianya 27 dan Ria serta Jane 25 tahun.
Nefal mengerutkan kening membaca curahan hati Gina yang ditulis tanpa tanda baca, membuatnya harus membaca beberapa kali untuk memahami maksudnya. Ia teringat Ria, sahabatnya yang juga anggota grup. Ria selalu sabar dan berusaha memahami setiap pesan, meskipun terkadang harus menebak-nebak maksudnya.
Tiba-tiba, notifikasi pesan dari Ria muncul di layar ponsel Nefal.
"Fal, kamu baca grup? Kasihan ya Gina. Aku jadi ingat Jane dulu waktu awal-awal bergabung."
Nefal tersenyum tipis. Jane, anggota lain di grup mereka, memang memiliki gaya penulisan yang serupa dengan Gina di awal-awal bergabung. Penuh semangat, tapi minim tanda baca, sehingga seringkali membuat pesan-pesannya sulit dipahami.
"Iya, Ri. Aku lagi baca. Aku juga jadi ingat Jane. Dulu aku sendiri juga sempat 'sewot' mengingatkannya soal tanda baca."
"Iya, benar. Tapi Jane mau belajar. Pelan-pelan dia mulai membiasakan diri pakai titik dan koma. Sekarang tulisannya sudah jauh lebih mudah dibaca."
Percakapan di grup terus berlanjut. Jane dan Nefal dengan sabar mengingatkan Gina tentang pentingnya menggunakan tanda baca agar pesannya mudah dipahami. Jane bahkan mengaitkannya dengan potensi kesalahpahaman yang bisa memicu reaksi keras dari orang tua.
Setelah beberapa pesan nasihat dari Jane dan Nefal , Gina membalas, "Saya terbiasa seperti itu sih Nefal, maklumkan saya."
Membaca balasan Gina, Nefal menghela napas panjang. Ia mengerti maksud Jane dan dirinya sendiri. Sebagai sesama orang yang memiliki sakit langkah, membaca tulisan tanpa tanda baca bisa sangat melelahkan dan bahkan memicu pusing. Permintaan Gina untuk dimaklumi kebiasaan menulisnya terasa kurang menghargai anggota grup yang lain.
Nefal membalas dengan nada yang lebih tegas, "Ya mbak harus melatih diri nulis pakai titik dan koma. Mbak bukan lagi anak SD, apalagi anak TK, yang masih belum paham tanda baca. Percuma mbak buang waktu untuk ngetik ini itu, tapi pembaca gak paham. Hanya dikarenakan kebiasaan mbak masih minta dimaklumi. Mbak Gina yang harus berlatih menulis pake tanda baca!!!"
Jane pun menambahkan, "Kalau bisa kelemahan yang sepele jangan dianggap 'harus memaklumkan'. Mungkin ini juga alasan orang tua main tangan ke kamu. Kita salah karena merasa kita ini Orang dengan sakit luar biasa, jadi kesalahan yang kecil (padahal besar) kamu anggap harus di maklumi. Padahal sudah jelas jelas salah. Jangan merasa Orang dengan sakit luar biasa seakan akan itu kelemahan yang wajar. Ini sudah sangatlah fatal, bilamana cara berpikirnya seperti ini."
Melihat respons Gina yang terkesan enggan belajar, Nefal merasakan emosi yang naik. Ia mengetik balasan dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya.
"Gina, kamu ini kenapa sih? Kita semua di sini berusaha saling memahami dan mendukung. Tapi kalau kamu sendiri tidak mau berusaha untuk berkomunikasi dengan baik, bagaimana kita bisa membantumu? Ini bukan soal 'maklum-memaklumi' kebiasaan buruk, tapi soal menghargai orang lain yang membaca tulisanmu. Kami juga punya keterbatasan sebagai orang dengan sakit luar biasa, membaca tulisan tanpa tanda baca itu benar-benar bikin pusing!" Nefal menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "Kamu bilang ayahmu marah sampai main tangan? Mungkin salah satu alasannya karena kamu juga tidak mau belajar dari kesalahan-kesalahan kecil, termasuk kesalahan dalam menulis ini! Jangan selalu merasa harus dimaklumi hanya karena kamu orang dengan sakit luar biasa. Itu bukan alasan!"
Setelah mengirim pesan itu, Nefal merasa dadanya bergemuruh. Ia jarang sekali marah di grup. Namun, permintaan Gina untuk terus dimaklumi kebiasaan menulisnya terasa seperti meremehkan usaha anggota lain untuk saling berkomunikasi dengan efektif. Ia berharap Gina bisa memahami maksud dari teguran mereka, meskipun terasa keras.
Nefal akhirnya sadar akan kemarahannya tadi, takut membuat Gina frustasi hingga ia menjelaskan "Mbak Gina perkara penulisan tanda baca ini bukan karena saya dan mbak Ria memiliki pengalaman menulis buku kami ya. Tapi memang secara alaminya teknik menulis memang begitu. Harus juga perhatikan tanda baca. Manfaatnya tanda baca itu untuk memperjelas kalimat-kalimat. Kurang lebih kegunaannya itu seperti perwakilan nada bicara kita. Sekian dari saya. Semoga menyemangati mbak Gina untuk melatih penulisan tanda baca di setiap paragraf.
Ria kemudian mengirim pesan kepada Nefal secara pribadi.
"Fal, kamu oke? Agak keras tadi sama Gina."
Nefal menghela napas dan membalas Ria.
"Aku tahu, Ri. Tapi aku benar-benar frustrasi. Kita semua berusaha sabar, tapi dia malah minta terus dimaklumi. Aku khawatir pola pikir seperti itu justru akan menghambat dia dalam banyak hal, termasuk hubungannya dengan orang tuanya."
Di grup, Jane kembali menulis dengan nada yang lebih lembut, berusaha meredakan ketegangan dan memberikan semangat kepada Gina untuk belajar. Nefal berharap, di tengah percakapan yang kurang nyaman ini, Gina bisa mengambil pelajaran berharga dan mulai berusaha untuk berkomunikasi dengan lebih baik. Seperti Jane di masa lalu, Nefal masih menyimpan harapan bahwa Gina juga memiliki potensi untuk belajar dan berkembang.
Akhirnya Gina pun membalas pesan "Baik. Kak. Maafkan saya."
Setelah itu sepilah group dengan berakhirnya kisah Gina yang ingin dimengerti.
TAMAT
Pelajaran yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah:
1. Pentingnya Komunikasi yang Efektif: Penggunaan tanda baca yang benar sangat krusial dalam komunikasi tertulis agar pesan dapat dipahami dengan jelas dan menghindari kesalahpahaman.
2. Empati dan Batasan: Meskipun penting untuk berempati terhadap kesulitan orang lain (seperti kondisi kesehatan Gina), tetap ada batasan dalam hal tanggung jawab pribadi untuk berusaha berkomunikasi dengan baik.
3. Dampak Kebiasaan Buruk: Kebiasaan buruk, meskipun dianggap sepele, dapat berdampak negatif pada hubungan dan penerimaan seseorang di lingkungannya.
4. Peran Komunitas dalam Dukungan dan Koreksi: Komunitas dapat menjadi tempat yang mendukung, namun juga memiliki peran untuk memberikan koreksi yang membangun demi kebaikan bersama.
5. Kesadaran Diri dan Kemauan untuk Belajar: Pertumbuhan pribadi memerlukan kesadaran diri akan kekurangan dan kemauan untuk belajar dan memperbaiki diri.
6. Frustrasi dalam Membantu: Orang lain yang mencoba membantu terkadang bisa merasa frustrasi jika tidak ada respons positif atau usaha dari pihak yang dibantu.
7. Konsekuensi dari Sikap Permisif: Sikap terlalu permisif terhadap kesalahan kecil dapat menghambat perkembangan dan pembelajaran seseorang.
8. Keterkaitan Berbagai Masalah: Masalah komunikasi bisa jadi terkait dengan masalah lain dalam kehidupan seseorang, seperti hubungan dengan keluarga.
9. Pentingnya Kerendahan Hati: Mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah langkah penting dalam memperbaiki diri dan hubungan dengan orang lain, seperti yang akhirnya dilakukan Gina.
10. Akhir yang Terbuka: Akhir cerita yang sepi setelah permintaan maaf Gina menyiratkan bahwa proses perubahan dan penerimaan diri membutuhkan waktu dan usaha lebih lanjut.
Cerita ini diambil dari kisah nyata namun nama tokoh berbeda. Group yang digunakan juga mengenai penyakit langkah. Semoga dengan adanya cerita ini, bisa membuat kita terus belajar ditengah kesulitan. Bukan minta harus di maklumi.
Komentar
Posting Komentar