Mengapa Tatika Menjadi Mirip Puisi?
Tak mudah memang menulis cerita hanya dalam format 3 kalimat. Walaupun hanya 3 kalimat, tatika tetap harus memiliki elemen narasi yang meliputi tokoh, alur, dan tema yang secara berkelindan mendukung atau membangun tema.
Jika tidak cermat menulis, tatika bisa tergelincir menjadi monolog atau menjadi puisi. Lebih-lebih jika tatika itu memakai sudut pandang orang pertama, ‘aku’ sebagai pencerita. Perhatikan contoh berikut ini.
Ritul Idha Djarwati
SEBUNGKUS NASI BAU BAJUMU
Kadang geli aku melihat tingkahmu yang aneh itu. Bagaimana tidak.... kamu berkoar-koar tentang kejujuran, jangan makan nasi bungkus itu...itu bukan hakmu. Eh....ternyata dari sekian nasi bungkus yang ada, kamu sembunyikan satu dibalik bajumu.
Tatika “Sebungkus Nasi Bau Bajumu” tersebut tidak memenuhi syarat cerita. Tak ada alur maupun latar. Tokoh pun tidak berfungsi menggerakkan alur. Tatika tersebut merupakan monolog, ‘aku’ bertutur kepada pembaca.
Mari kita sunting tatika tersebut. Hasilnya seperti berikut.
SEBUNGKUS NASI BAU BAJU
Kadang geli aku melihat tingkahnya yang aneh itu. “Hai, jangan makan nasi bungkus itu. Itu bukan hakmu!” serunya berapi-api. Namun saat pulang dari markas dia diam-diam menyembunyikan sebuah nasi bungkus di balik bajunya.
Setelah disunting tatika itu semakin jelas siapa tokoh sentralnya, bagaimana alur dan konflik yang dibangun, serta bagaimana latarnya. Dan, perubahan yang mendasar kata ganti orang kedua menjadi kata ganti orang ketiga. Hubungan aku dan kamu dalam teks cenderung membentuk teks monolog.
Perhatikan pula contoh tatika berikut ini.
Must An
19 MEI (2563)
Senaik kamu dan rombongan ke strata Arupadatu, mata kita berpapasan. Api mulai dipatikkan, lampion mulai tersulut. Bahwa yang membekas pada Waisak tahun lalu bukanlah mengenai terbangnya lampion-lampion harapan, tetapi berkas wajahmu yang menggelap sebelum menengadah melihat kerlip pijar itu berubah menjadi bintang.
Tatika karya Must An tersebut cenderung berupa ungkapan perasaan ‘aku’ terhadap ‘kamu’. Pola semacam ini terjadi dalam teks puisi. Apalagi tatika tersebut ditulis dengan memakai kekuatan metafora. Irama yang kuat, dan perasaan yang sangat sublim. Teks tersebut sesungguhnya lebih dekat kepada puisi daripada tatika.
Karena sangat kuat sebagai puisi, sulit menyuntingnya untuk menjadi tatika. Mungkin memang teks tersebut dilahirkan sebagai puisi.
Menulis tatika memang tidak mudah sebab hanya dalam tiga kalimat kita harus mampu bercerita secara utuh. Seorang penatika ditantang untuk kreatif berkalimat, kreatif pula bercerita. Jika kita berhasil menulis tatika dengan baik, kita akan mampu menulis, pentigraf, cerpen, bahkan novel. Mengapa demikian? Sebab kita sudah memiliki bekal mendayakan dan menggayakan kalimat.
Materi dari: (Tengsoe Tjahjono – penggagas dan penemu genre sastra tiga)
Komentar
Posting Komentar